Skip to main content

Featured

LINGUISTICS STUDENT INDONESIA PROFILE

Linguistics Student Indonesia Founded in April 2015, Linguistics Student Indonesia starts as a personal blog and continues its journey and has expanded its wings to several platforms such as Instagram, Youtube, Anchor, Facebook, ResearchGate, and LinkedIn. Linguistics Student Indonesia is currently non-profit and represents its founder's personal brand. The idea of creating Linguistics Student Indonesia emanates when Suci Wulan Lestary as a Founder of this blog encounters a lot of difficulties in learning Linguistics as her specialty in college. So, she started to build Linguistics Student Indonesia while hopes that this platform could help to spread her values as a passionate individual who is attracted to linguistics as she took Indonesian Linguistics specialty as her major in college. Besides linguistics, she would also love to share her meaningful life experience. That's why the tagline: makes little things matter by learning through experience. *** Current Interest...

MENULIS: SENI BERPIKIR DAN MENIKMATI SUNYI

Estimasi Waktu Membaca: 3 Menit 43 Detik
Become a Supporter of Linguistics Student Indonesia




Woohoo, sudah masuk bulan April! Tidak terasa, ya? Itu artinya kita sudah melewati satu kuartal di tahun 2021. Aku sangat bahagia karena tahun ini rasanya waktu bergulir dengan cepat, serta banyak hal yang kulakukan yang membuatku kembali percaya akan hidup ini. Biar kuberitahu, aku semakin jatuh cinta dengan menulis. Kegiatan rutinku setiap tahun adalah mengganti buku harian. Jika tahun kemarin buku harianku berwarna kuning, tahun ini buku harianku memiliki sampul kotak-kotak. Aku sebenarnya tidak peduli pada desain bukunya, aku lebih mementingkan jenis kertas yang cocok dengan ballpoint yang kugunakan. Karena tidak semua jenis kertas cocok dengan ballpoint milikku.

Aku selalu penasaran, apakah di antara kalian ada yang suka menulis buku harian juga? Aku yakin sih ada. Tapi, pasti pengalaman yang dirasakan berbeda denganku. Karena meski kepala sama hitam, hati tidak pernah ada yang tahu, kan? Hehe.

Usiaku sudah genap seperempat abad, tetapi aku masih menyimpan cerita sehari-hari di dalam sebuah buku harian. Aku menulis buku harian sejak aku masih SD. Rasanya sangat menyenangkan melihat proses berpikir dari waktu ke waktu. Apapun yang kurasakan, aku akan menuliskannya dengan jujur di dalam buku harianku. Tidak ada aturan yang mengikatku apa yang perlu kutulis di dalamnya, semuanya mengalir begitu saja mengikuti apa yang ada di dalam pikiran dan hatiku saat itu. Sampai kadang-kadang aku kaget: "Lah, kok tulisanku bisa sampai menyentuh hati seperti ini, ya?" atau "Anjir, ngakak! Kenapa bisa sebodoh ini?" 😆

Menulis buku harian membantuku menguraikan perasaan-perasaan dalam diriku yang rasanya mustahil kuungkapkan kepada siapapun di dunia ini. Kadang-kadang, tulisanku juga menceritakan kepadaku apa yang telah kulupakan. 

Aku biasanya menuliskan banyak hal, mulai dari perasaanku terhadap orang-orang dalam hidupku, atau perasaanku terhadap diriku sendiri. Saat aku menulis, yang kubayangkan adalah aku sedang berbicara kepada sosok yang sangat kupercaya. Yup! Bagiku menulis adalah sarana untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Aku selalu yakin, ketika aku menulis, aku berdoa. Karena memang seajaib itu, deh! Pernah suatu kali aku menulis bahwa aku merindukan seseorang, dan aku menulis aku akan bertemu dengannya. 

Poof! Magic! Esok harinya kami bertemu. 

Buku harianku mengungkapkan banyak sisi dari diriku yang tidak kuungkapkan di manapun. Entah sudah berapa buku harian yang kuhabiskan untuk menuliskan isi kepalakuyang menurutku tidak masuk akal, rumit, atau bahkan anehSuci anaknya dreamy,  jadi ada banyak hal yang dipikirkannya setiap hari. Jalan-jalan sebentar ke luar rumah saja bisa jadi cerita bagiku. Aku senang memperhatikan hal-hal kecil pada apapun yang kutemukan, dan aku sadar tidak semua orang senang mendengarkan cerita-ceritaku, karena mereka juga punya masalahnya sendiri. Jadi, jika aku terpaksa harus menyimpan cerita itu sendiritidak masalahkarena menulis buku harian sudah seperti bagian dari hidupku. Aku harus menuliskannya atau aku tidak bisa berpikir jernih. Walaupun aku suka berdoa juga sih, semoga suatu hari nanti, aku bisa menemukan seseorang yang anehnya sama denganku, jadi aku bisa bercerita tentang apa saja padanya tanpa takut dihakimi.

Menulis dengan jujur membuatku mengetahui apa yang kuinginkan dan membuatku berteman dengan diriku sendiri. Awalnya memang rasanya canggung banget, sama seperti ketika kamu baru berkenalan dengan seseorang, tetapi makin lama setelah menjadi semakin nyaman dengan diri sendiri, ya jadi makin gila, deh. Hihi. Bukan jadi sinting, ya! Tapi, jadi semakin mudah untuk jujur dengan diri sendiri. 😁  

Serius, dulu rasanya menulis yang benar-benar jujur itu, susah banget, sampai akhirnya hal paling absurd yang kupikirkan, bisa aku uraikan dengan gamblang

Menulis itu bukan pekerjaan mudah, ketika aku menulis, aku menyadari bahwa ternyata ide yang kubayangkan bisa jadi sangat susah dijelaskan, aku akan selalu merasa bodoh, karena ternyata mengungkapkan ide dalam bentuk yang dapat dimengerti orang lain itu sulit jika kamu sendiri saja tidak bisa mengungkapkannya pada dirimu sendiri. Aku suka sekali merasakan itu, karena penting bagiku untuk selalu merasa bodoh, agar aku selalu belajar. Aku tidak ingin merasa aku sudah pintar, karena aku akan kehabisan rasa ingin tahu dan berhenti belajar. Jika aku berhenti belajar, di situlah kebodohan sejati dimulai. Betapa mengerikan. 

Selain buku harian, aku juga punya sebuah buku yang isinya lebih random, karena isinya adalah ide-ide yang muncul begitu saja. Entah bagaimana, memang sulit bagiku jika harus menyimpan semuanya di kepalaku. Meskipun otak manusia memiliki kapasitas yang luar biasa dalam menyimpan ide, tetap saja aku harus bikin otak keduaatau paling tidak begitulah aku menyebutnya. 

Untuk menutup tulisan ini, aku ingin kamu tahu, setelah aku lebih sering menulis, aku menjadi orang yang mencintai kesunyian dan lebih menikmati hidup. Tidak ada siapapun, hanya aku, pena, kertas, dan kadang-kadang alunan musik atau segelas es kopi/coklat. Aku menulis untuk memonitor "ritme" diriku dalam menjalani hidup, karena ketika segala sesuatu di dunia ini menuntutku untuk bergulir cepat. Di sisi yang lain, aku sebenarnya hanya manusia biasa yang juga membutuhkan slowing down untuk merefleksikan pikiranku dan mengatur ulang strategi hidupku sebelum kembali mengikuti "ritme" dunia yang menuntut semua orang untuk selalu tergesa-gesa. Aku tidak ingin tergesa-gesa karena hidup itu terdiri atas 10% yang terjadi dan 90% reaksi kita terhadap apa yang terjadi. Menulis membantuku untuk "pause" sejenak dan berpikir, supaya aku tidak salah langkah.

Anyway, sering juga aku mengatakan pada diriku, "Nikmatilah sunyi, karena kita akan kembali padanya,"
 
Aku sering berpikir, suatu hari nanti aku akan kembali pada kesunyian sambil membawa seluruh pengetahuanku di alam dunia ini tentang kesunyian itu. Aku membayangkan betapa menderitanya orang yang tidak mampu bertahan dengan kesunyian karena kelak aku akan menghadapi sunyi yang panjang sendirian. Oleh karena itu, aku harus mampu merangkul dan menikmatinya. Salah satu caraku berlatih adalah dengan menulis, menulis membuatku tahu bagaimana rasanya berada dalam kesunyian, ketika yang ada hanya aku yang berdialog dengan diriku dan Tuhan saja.  Menulis membuatku tahu siapa diriku dan aku ingin menjadi manusia yang seperti apa. Menulis adalah seni berpikir dan menikmati sunyi.

Aku punya keyakinan, dahulu saat aku masih berada di alam rahimsebelum aku datang ke sini, ruhku dibekali dengan sekelumit pengetahuan tentang dunia ini. Salah satunya tubuh kita ini, tubuh kita adalah "pengetahuan" yang dipersiapkan Tuhan bagi kitasejak kita masih berada di alam rahim sehingga kita mampu berjuang di alam dunia ini. Begitu juga nanti, kelak saat waktuku di dunia telah berakhir, aku akan membawa seluruh pengetahuanku di dunia ini kepada kehidupan selanjutnya. Untuk itu aku perlu belajar dan mengenal, bagaimana cara menikmati berbagai jenis keadaan yang dapat dirasakan ruh di dalam ragaku, agar kelak di saat aku harus merasakannya lagi, aku tidak menderita. Meskipun, sambil berharap, semoga saja apa yang kulakukan dapat bergunapaling tidak bagi diriku sendiri, karena pengetahuan tentang kehidupan selanjutnya berada di sisi Tuhan, kita manusia, hanya bisa berusaha. []

 

I highly appreciate your visit to the Linguistics Student Indonesia website. 


Gift for you!

My Published Book

Let's build a network! Connect with Linguistics Student Indonesia:

Paid Partnership & Business Inquiries:
linguistics@post.com

Comments

Most Visited Articles