Skip to main content

Featured

LINGUISTICS STUDENT INDONESIA PROFILE

Linguistics Student Indonesia Founded in April 2015, Linguistics Student Indonesia starts as a personal blog and continues its journey and has expanded its wings to several platforms such as Instagram, Youtube, Anchor, Facebook, ResearchGate, and LinkedIn. Linguistics Student Indonesia is currently non-profit and represents its founder's personal brand. The idea of creating Linguistics Student Indonesia emanates when Suci Wulan Lestary as a Founder of this blog encounters a lot of difficulties in learning Linguistics as her specialty in college. So, she started to build Linguistics Student Indonesia while hopes that this platform could help to spread her values as a passionate individual who is attracted to linguistics as she took Indonesian Linguistics specialty as her major in college. Besides linguistics, she would also love to share her meaningful life experience. That's why the tagline: makes little things matter by learning through experience. *** Current Interest...

HORISON HARAPAN: INDONESIA ADALAH NEGARA MAJU

Estimasi Waktu Membaca: 7 Menit 25 Detik


Tahun-tahun pertama kuliah, aku mengambil beberapa mata kuliah sastra, salah satunya mata kuliah kritik sastra. Tentu saja, karena aku mengambil program studi Sastra Indonesia. Tiba-tiba saja, hari ini aku mengingat sebuah konsep dalam teori resepsi sastra Hans Robert Jauss yang amat masyhur, yaitu konsep horizon harapan (horizon of expectation). 

Resepsi sastra melahirkan cakrawala baru dalam memaknai karya-karya tekstual, sehingga dapat melahirkan bentuk baru dari sebuah karya melalui proses resepsi dimana pembaca memaknai karya sastra sehingga dapat melahirkan karya lainnya, melalui sebuah pengalaman literer dimana pembaca menerima sekaligus mengelola bacaan yang dibacanya berdasarkan wawasan yang dimilikinya oleh Jauss dikenal sebagai horison harapan. (1)

Muslimin dalam artikel ilmiah berjudul Resepsi Sastra: Literasi Berbasis Horison Harapan  menjelaskan bahwa istilah horison harapan yang dimaksud dalam teori resepsi adalah sebuah proses memaknai karya sastra dengan segala pengalaman dan wawasan literasinya, sehingga pembaca tersebut dapat menghasilkan karya sastra lainnya.

Walau kuliah ini sudah lama sekali, tetapi ada sebuah kalimat yang membekas di kepalaku sampai hari ini: "manusia akan tetap hidup saat dia memiliki horison harapan,"  begitulah dosenku mengatakannya dalam pembukaan kuliahnya siang itu.

Yang ingin ku katakan adalah mungkin selama ini aku—secara tidak sadar—menerapkan konsep horison harapan itu di dalam kepalaku untuk menerapkan konsep-konsep hidup sederhana yang diterapkan di negara maju.

Beberapa tahun terakhir, aku suka sekali menonton film-film dokumenter, atau vlog sederhana dari para film maker favoritku, semuanya rata-rata berasal dari negara maju. Aku menonton vlog orang-orang yang tinggal di Amerika Serikat, Prancis, Hongkong, Belanda, Jepang, Jerman, Swedia, Korea, dan masih banyak lagi.

Aku memperhatikan kebiasaan dan tatanan hidup mereka—seperti misalnya, orang-orang Jerman yang sangat patuh soal peraturan. Aku menonton sebuah dokumenter tentang bagaimana orang Jerman mengolah sampah di lingkungan rumahnya. Aku takjub melihat bagaimana mereka memilah sampah, mengurus jadwal bersih-bersih dengan tetangga, hingga tidak membuang sampah sebelum batas waktu yang ditentukan karena khawatir akan mengganggu tetangga.

Begitu juga dengan orang-orang Jepang yang memiliki jadwal pengambilan sampah yang berbeda setiap harinya. Serta, orang-orang Amerika yang penuh percaya diri dalam melakukan sesuatu, atau orang-orang Korea yang membudayakan pali-pali atau budaya cepat-cepat saat melakukan aktivitas sehari-hari. Budaya-budaya baik lainnya yang ku lihat dari negara-negara maju adalah budaya tepat waktu & menepati janji, gemar membaca, menulis kritis, berdiskusi, juga menarik perhatianku selama ini.

Secara tidak sadar, kebiasaan menonton film-film dokumenter dan vlog membuatku menciptakan horison harapan di kepalaku. Aku selalu berusaha keras memaknai kebiasaan-kebiasaan hidup yang baik di negara lain, dan aku berusaha keras untuk menerapkannya di sini, di Indonesia.

Anggaplah kebiasaan-kebiasaan di negara maju adalah sebuah karya sastra. Lalu, aku membacanya dengan segala wawasanku tentang Indonesia, lalu aku menyesuaikan kebiasaan-kebiasaan baik itu, dan menciptakan karya sastra baru, yaitu menerapkan semua kebiasaan baik itu mulai dari diriku sendiri.

Aku berusaha keras, karena jujur saja, kebiasaanku di sini dapat dikatakan lumayan berbeda. Berikut beberapa kegiatan yang ku terapkan seperti yang ku lihat di film-film dokumenter tentang negara maju:

1. Cara dan kecepatan berjalan kaki

Kebiasaan yang kuperhatikan dari orang-orang di negara maju adalah cara mereka berjalan kaki. Amat sederhana, kan? Namun, setelah aku memperhatikan hal tersebut, cara berjalanku dulu dan sekarang mengalami perubahan. Sekarang kecepatan jalanku dapat dikatakan meningkat signifikan. Hal ini membuatku menjadi lebih fokus kepada arah dan tujuanku berjalan, juga menghemat waktu. Aku benar-benar telah meninggalkan kebiasaan berjalan lambat dan santai.

2. Tidak membendung rasa penasaran dan terbiasa membaca buku atau jurnal penelitian

Awalnya aku mengagumi apa yang dilakukan Nathaniel Drew, dia seorang film maker yang pernah ku sebut juga di sini. Dia lebih muda dariku 1 tahun, dan dia sangat produktif. Aku menonton karya-karyanya dan ada sesuatu yang menarik. Dia tidak pernah membendung rasa penasarannya, dia rajin membaca buku, mengunjungi perpustakaan, melakukan riset, bahkan mencoba hal-hal baru di negara-negara yang dikunjunginya, dan menceritakan kisah hidupnya di Youtube Channelnya. Kadang kala, dia mencoba teori-teori dan membuktikannya dalam kehidupan sehari-hari. Senang melihatnya melakukan itu semua. Dia terlihat bahagia melakukannya, dan terbukti, apa yang dilakukannya itu menambah wawasannya.

Aku pun mencoba untuk tidak membendung curiosity-ku dan memandangnya dari sudut pandang ilmu pengetahuan. Sejak bulan maret lalu, aku mencoba untuk mulai mendokumentasikan mimpi-mimpi yang sangat ku ingat. Aku menuliskan mimpiku secara detail di sebuah buku. Hasilnya, menarik, aku melihat warna biru sebagai warna dominan yang sering muncul dalam mimpiku. Beruntung makna dibalik simbol warna biru itu baik, yaitu menggambarkan keadaan jiwa yang calm, dan peace. Aku juga mencatat benda-benda, orang-orang, tempat, emosi, yang muncul dalam mimpi-mimpiku, semuanya juga ikut aku dokumentasikan. Sangat menarik bagiku mempelajari hal ini, dan semua itu aku lakukan bukan tanpa dasar. Karena memang sedang ada yang ingin ku buktikan, dan aku melakukannya karena aku membaca sebuah buku. Buku dari seorang penulis bernama David Richo, seorang ahli psikoterapi. Dalam buku tersebut dia merekomendasikan pembacanya untuk mendokumentasikan mimpi-mimpi yang dialami, terutama yang paling diingat ketika sudah bangun.

3. Tidak merasa berhak atas pilihan hidup dan urusan orang lain

"Mau kemana?"

"Sekarang kerja di mana? Gajinya berapa?"

"Kalau bikin usaha kayak kamu, memang menghasilkan, ya?"

"Udah lulus? Emang ambil program studi apa? Kok ambil itu, sih? Nanti susah gak cari kerjanya?"

"Kamu udah mapan, tapi masa belum ada gandengan, sih! Buruan nikah sana!"

"Ih, kok, mau sih kuliah di uni X, kenapa gak di uni Y aja?"

"Lah, setiap ketemu lo, baju lo itu terus deh, gak punya baju, ya?"

"Udah nikah, bentar lagi punya momongan, nih,"

"Wah, enak udah lulus, cepet kerja ya, cari uang, biar bisa bahagain orang tua!"

Itulah beberapa pertanyaan yang terkadang muncul di kehidupan sehari-hari. Kadang-kadang, aku juga heran kenapa ada orang-orang yang rajin sekali melontarkan pertanyaan-pertanyaan sejenis itu layaknya mereka tahu apa yang orang lain benar-benar alami dibalik semua itu. Aku merasa beruntung karena dibesarkan di keluarga yang menjunjung tinggi hak-hak pribadi orang dan selalu mengajarkan untuk tidak menanyakan hal-hal yang sifatnya personal kepada orang lain. Aku menemukan kebiasaan di keluargaku ini mungkin mirip dengan orang-orang Amerika yang sering mengatakan, just mind your own business, it's impolite to ask personal questions, you didn't know what they're going through!

Fenomena ini juga mengingatkanku pada kelas sosiolinguistik lanjut semasa kuliah dulu. Apa yang diucapkan oleh penutur adalah maksud, sedangkan yang diterima oleh lawan bicara adalah tafsir. Keduanya bisa memiliki makna yang berbeda, dan hal tersebut berpotensi membuat "gesekan" antarindividu kalau tidak sinkron antara tafsir dan maksud. Misalnya, saja seperti kalimat di atas,

"Wah, enak ya sudah lulus, sekarang bisa kerja dong, cari uang, biar bisa bahagiain orang tua!"

Padahal di rumah, orang tuanya bilang, "Kebahagiaan papa-mama bukanlah uang, tapi melihat anak kami tumbuh bersama ilmu, paham apa yang dipelajari, dan mampu mengamalkannya. Lagipula papa-mama ingin kamu kuliah agar kamu menjadi orang yang berilmu, bukan karena kelak kamu harus bekerja, bahagia kami bukan tentang uang, nak,"

Sehingga orang yang menerima kalimat itu akan berpikir, "Bisa-bisanya ya ada orang seperti dia, yang orientasinya bahagia = harta,"

Hal itu terjadi, karena tidak adanya sinkronisitas antara maksud penutur, dan tafsir lawan bicaranya.

Makanya, sejak kecil, mamaku selalu ajarkan aku, kalau ada orang yang tanya hal personal sama kamu, tanya balik saja, "Apa untungnya buat kamu mengetahui informasi tentangku perihal itu?" karena memang, orang menanyakan sesuatu kepada orang lain, bisa saja bukan karena dia benar-benar peduli dan simpati. Namun, bisa hanya basa-basi semata, atau dia ingin tahu saja (kita harus berhati-hati dengan orang semacam ini). Bagiku, hal-hal tentang kehidupan pribadi orang lain tidak esensial dan tidak menarik perhatianku. Sebagai individu yang menghargai kehidupan pribadi orang lain, kita bisa mencari basa-basi lain seperti, apa kabar? kurasa itu sudah cukup. Misal orang itu cerita kehidupannya, bagiku itu bonus dan aku merasa wajib menjaga integritasku dengan menyimpan cerita itu untuk diriku saja. Tapi, kalau dia tidak bercerita panjang lebar tentang dirinya, aku tidak berhak menanyakan kehidupannya. Oleh karena itu, aku senang membaca berita setiap hari, atau membaca buku, sehingga aku bisa mengajak orang berdiskusi tentang berita hari itu atau pengetahuan umum lainnya. Hal itu, juga aku pelajari dari orang-orang di negara maju yang tidak senang berbasa-basi.

4. Fokus pada tujuan berkendara, toleransi berkendara, dan mengutamakan keselamatan

Aku masih ingat, kalau ada kecelakaan di jalan, aku suka memperhatikan beberapa orang jadi memperlambat laju kendaraannya, padahal mereka cuma mau sekadar nonton saja, bukan menolong. Kan, lucu? Karena jelas itu bukan tontonan. Ditambah lagi, kan jadi banyak waktu terbuang. Aku cukup resah dengan hal itu, maka yang kulakukan adalah membunyikan klakson agar orang-orang tidak berkerumun dan membuat jalanan di sekitarnya macet.

Selain itu, aku senang sekali pernah menemukan sebuah video di Youtube tentang bagaimana mobil-mobil di Jerman membuka jalan agar sebuah ambulans bisa lewat tanpa hambatan. Sungguh toleransi yang indah dalam berkendara. Tanpa perlu klakson, semua mobil minggir ke bahu jalan, sehingga ambulans bisa melaju kencang di tengah-tengah pengendara lainnya.

Di sini, mungkin belum sampai tahap itu, tetapi aku mulai dengan tidak mengklakson orang yang menuntun motornya di jalan. Kadang-kadang, aku melihat sendiri, ban motor seseorang bocor, dia menuntun motornya, tapi kalau kuperhatikan ada saja orang yang tega mengklakson, padahal misalnya orang tersebut sudah sangat minggir di bahu jalan. Maksudku, kita pasti bisa peka dengan keadaan dan fokus saat berkendara, jika ada yang kesulitan, kalau kita tak dapat membantu, jangan menambah beban orang yang sedang kesulitan.

Bersabar dan empati dalam berkendara juga perlu dilatih, awal-awal berkendara, aku sering emosi jika ada yang menyalipku. Lama-lama, ku pikir itu tindakan bodoh. Begini, jika aku tidak dalam keadaan terburu-buru, fokusku hanya pulang ke rumah, misalnya. Aku seharusnya santai saja (agar selamat). Jika ada orang yang ingin jalan duluan, harusnya ku biarkan saja, karena bisa saja dia mules, atau istrinya mau lahiran, atau sedang buru-buru karena anggota keluarganya sekarat, dan masih banyak keperluan darurat lainnya. Nih ya, kalau macet, aku suka banget memerhatikan pengendara lainnya, seru juga, sambil berpikir:

"Hmm, bapak yang di depan itu, kira-kira bawa sepeda buat siapa ya? Anaknya? Atau cucunya? Pasti anaknya senang, tuh bapaknya pulang bawa sepeda buat dia,"

"Itu satu motor, isinya berempat, anak dua, lalu bapak-ibu, ya Allah, semoga mereka punya cukup rezeki untuk beli mobil, Aamiin,"

"Ya Allah, di saat aku macet-macetan naik mobil, ada yang menarik gerobak, semoga bapak itu banyak rezeki jadi bisa beli kendaraan juga,"

"Wah, kayaknya itu ban motornya kempes, makanya dia dorong, ya Allah semoga orangnya kuat, tolong dia ya Allah,"

atau kadang kalau ada orang yang nggak sengaja nyenggol spion, lalu minta maaf, aku juga suka berpikir, 

"Yah, mudah-mudahan dia nggak fokus karena kurang minum aja, bukan karena banyak urusan, semoga dia baik-baik aja ya Allah,"

Pelanggaran lalu lintas juga begitu, saat sering ke kampus dulu, aku biasanya naik motor. Dalam perjalanan, aku sering melihat orang-orang yang kurang sabar menunggu lampu merah, sehingga nekat menerobosnya, atau mereka yang tidak patuh dengan marka jalan. Sebagai manusia biasa yang punya nafsu, kadang aku juga ingin seperti mereka, ikut melanggar. Namun, aku bisa menahan semuanya dan berusaha patuh, karena aku memiliki horison harapan di kepalaku.

5. Tidak menyoroti yang tampak beda dari diri orang lain

Dulu aku sering sekali melakukan ini, syukurlah sekarang tidak lagi. Perilaku tak pantas itu adalah aku sering menatap orang lain yang penampilannya berbeda denganku. Misal, aku duduk di sebuah kafe, lalu ada orang yang menggunakan pakaian yang warnanya mencolok, sedangkan di dalam benakku aku merasa itu bukan seleraku, maksudku: it's not my thing. Lalu, tanpa disadari aku akan ngedumel sendiri atau bisik-bisik ke temanku,

"Coba itu liat deh orang itu, masa bajunya jreng banget!"

Sekarang, aku merasa melakukan itu adalah sebuah kemunduran dalam berpikir, karena aku tidak hidup di dunia ini sendirian. Di dunia ini tidak hanya aku yang punya selera. Tidak mungkin orang lain bisa sama denganku. Jadi, sekarang aku sudah tobat. Pandanganku berubah karena aku sering memperhatikan teman-temanku yang berasal dari United States yang mengutamakan positivity saat bertemu teman-temannya. Seperti, "Wah, kemeja itu keliatan cocok banget loh kalau kamu yang pakai,". Mereka memandang orang lain, langsung pada kelebihannya, dan pada saat yang sama, pandangan mereka mampu menghapus kekurangan orang itu dalam sekejap mata. Oleh karena itu, aku ingin selalu menerapkannya di sini, mulai dari diriku sendiri.

Yup, begitulah! Terbukti, memiliki horison harapan mampu membuatku bertahan menghadapi tantangan hidup di dunia, sekaligus perlahan menata diri menjadi pribadi yang ingin ku lihat di dunia ini. Aku ingin menciptakan kebiasaan-kebiasaan baik tersebut di Indonesia, karena dalam horison harapanku Indonesia adalah negara maju. Kita juga tidak bisa mengontrol perilaku orang lain, terlebih aku hanyalah bagian kecil dari dunia ini, dan aku bukan siapa-siapa, jadi lebih baik ku putuskan untuk mulai dari diri sendiri saja. Karena menurutku, mengeluh tentang apa yang dilakukan orang lain pun, tidak akan mengubah apa-apa. Yang dapat ku lakukan adalah menciptakan horison harapan itu dalam kehidupan nyata. Tentunya sambil terus berdoa, mudah-mudahan kelak Indonesia benar-benar menjadi negara maju, dan aku bisa terus konsisten mengaplikasikan kebiasaan-kebiasaan baik tadi sampai akhir hayat.

Rujukan Kutipan: 

(1) Muslimin, Fadli Muhammad, Resepsi Sastra: Literasi Berbasis Horison Harapan, The 1st International Conference on Language, Literature, and Teaching, (FIB UGM), Hlm. 836

 

I highly appreciate your visit to the Linguistics Student Indonesia website. 
Linguistics Student Indonesia Founder


Let's build a network! Connect with Linguistics Student Indonesia:

Paid Partnership & Business Inquiries:
linguistics@post.com


Comments

Most Visited Articles